Minggu, 24 Juli 2011

“ SEDEKAH..Sungguh Luar Biasa……”



Kisah ini saya tulis untuk memotivasi diri saya sendiri maupun orang lain agar diri kita bisa memberi manfaat riil bagi orang yang membutuhkan.Saya melihat sendiri begitu berharganya bantuan kita pada mereka yang membutuhkan. Ya Alloh,,,ternyata sekecil apapun yang kita berikan untuk mereka sangat berarti untuk menyelesaikan masalah mereka yang sedang dihimpit kesulitan ekonomi.


Saat saya berada di LMI kebetulan bertemu dengan beberapa orang tua siswa yang keberatan membayar daftar ulang masuk SMP dan SMA/SMK negeri.Biaya yang tidak sedikit mereka tanggung,sementara kondisi mereka jauh dari cukup. Bahkan saya melihat dengan mata say sendiri, seorang ibu yang putrinya diterima di SMK negeri menangis tersedu-sedu meminta bantuan LMI untuk bisa daftar ulang. Sang ibu bercerita bahwa tak ada sepeserpun uang untuk daftar ulang. Beliau membayangkan darimana mendapatkan uang sebesar itu, untuk makan saja belum tentu 3 kali sehari. Pembaca yang budiman,itulah fenomena kehidupan masyarakat kita. Masih banyak yang membutuhkan uluran tangan kita. Mereka adalah lading amal bagi kita yang diberi kelebihan harta oleh Alloh SWT. Saya teringat salah satu hadist Rosulullah bahwa malaikat senantiasa berdoa pagi dan sore pada orang-orang yang senag bersedekah.


Banyak keajaiban yang saya rasakan setelah bersedekah dikala kondisi lapang maupun sempit. Harta yang saya keluarkan sebagai sedekah semakin bertambah. Kala kondisi ekonomi saya masih sulit,saya berusaha untuk tidak lupa untuk bersedekah. Keajaiban yang saya alami, harta saya bukannya semakin berkurang tapi kian bertambah. Kekuatan sedekah juga menghantarkan saya pada kesuksesan .Bersegeralah bersedekah sebelum harta kekayaan anda hilang,tanpa anda sempat bersedekah. Sudah banyak orang membuktikan keajaiban bersedekah.Begitu dahsyatnya kekuatan sedekah,pantas kalau Rosulullah tidak takut miskin dan selalu bersedekah atas apa yang dimilikinya. Oleh karena itu jika hidup anda selama ini diliputi kesusahan dan kesulitan, cobalah introspeksi diri. Jangan-jangan anda sering melalaikan sedekah…

Sabtu, 23 Juli 2011

Siswi Piatu di Bangku SD...





Suara riuh rendah menggema di setiap sudut gedung sekolah ketika bell berbunyi. Pelajaran telah usai dan murid-murid bersiap pulang ke rumah masing-masing. SD Negeri 1 Nambangan Lor. Di sekolah inilah aku belajar selama enam tahun, menjadi siswi aktif sampai saat ini. Kini aku akan segera memasuki jenjang SMP.



Aku mengayuh sepedaku perlahan menyusuri jalan kecil yang ramai. Hari yang terik, tapi ini bukan hal baru untukku. Kubelokkan sepedaku ke sebuah gang sempit, lalu belok lagi masuk ke gang yang lebih sempit, dan satu belokan lagi ke dalam gang yang sangat sempit di antara jepitan dinding rumah tetanggaku. Aku harus hati-hati. Sesampainya di depan rumah, kutuntun sepedaku turun dari jalan ke halaman rumah yang sempit. Permukaan halaman dan rumahku memang lebih rendah dari jalan yang kulewati tadi. Mungkin sekitar tiga per empat meter.



Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakakku tinggal di kota lain. Ibuku sudah lama meninggal. Aku hanya tinggal bersama ayahku di rumah kontrakan ini. Walaupun demikian, aku lebih sering tinggal sendirian di rumah. Ayahku seorang kuli penambangan pasir. Pekerjaan itu membuat ayah sering pulang larut malam. Aku yang harus menjaga dan mengurus rumah. Biasanya ayah pulang sekitar pukul satu dini hari.



Ayah membanting tulang seolah tanpa lelah. Semua itu ia lakukan demi mencukupi kebutuhan kami. Ayah rela bekerja apa saja dan sering berganti-ganti pekerjaan di luar aktivitasnya menambang pasir. Sepulang bekerjapun, ayah juga sering menggantikanku mengerjakan pekerjaan rumah tangga supaya aku bisa belajar. Ayah pasti ingin supaya aku jadi orang sukses.



Kuparkirkan kendaraan satu-satunya milik keluargaku ini di halaman dan segera masuk ke rumah. Sebuah rumah kontrakan semi permanen yang tampak tua dan kumuh, yang hanya memiliki satu buah pintu dan tanpa satupun jendela. Sebagian dindingnya mulai berlumut karena lembab. Atapnya sering bocor di sana-sini ketika hujan. Ayah tak punya uang untuk memperbaikinya. Jadi aku harus bisa mengatasi keadaan ini sendirian jika ayah belum pulang. Terkadang aku ingin bisa berkumpul dengan ibu lagi. Tapi bagaimana mungkin, ibuku menghadap Alloh SWT. Aku hanya bisa berdo’a semoga Alloh SWT mengampuni dosa-dosa ibu dan menerima semua amal yang pernah beliau usahakan.



Tas sekolah kuletakkan di tikar plastik yang terhampar di ruang tamu. Kami memang tak punya meja dan kursi. Semua aktivitas kami lakukan di tikar ini. Di sinilah pusat semua kegiatan di rumah. Ruang tamu sekaligus kamar tidur, dapur, ruang makan, ruang belajar, dan banyak lagi. Sebagian barang sengaja kami letakkan di teras atau di halaman karena di dalam rumah sudah sangat sesak. Tak ada yang menyangka kalau yang ada di depan tempat tinggalku adalah teras depan sebuah rumah. Semua orang yang baru melihatnya akan mengira bahwa itu adalah bagian belakang rumah. Orang-orang yang mengunjungiku biasanya sangat kesulitan menemukan jalan menuju rumah ini, dan setelah sampai mereka selalu terkejut. Aku maklum saja, memang beginilah rumah yang kutempati bersama ayah.



Dari ayah aku belajar banyak hal. Salah satu sikap yang selalu kuperhatikan pada diri ayahku adalah keikhlasannya dalam menerima segala sesuatu tanpa mengeluh, dan terus berjuang untuk menjadi lebih baik. Maka akupun akan terus berusaha untuk memperbaiki keadaan kami. Cara yang harus kutempuh saat ini adalah dengan giat belajar dan meningkatkan prestasiku. Aku yakin Alloh akan membantuku jika aku sungguh-sungguh berusaha. Kulakukan tugasku semaksimal mungkin, dan kuserahkan hasilnya pada Yang Maha Kuasa. Kuharap suatu saat aku bisa membuat ayahku bangga. Ayah, orangtuaku satu-satunya yang telah banyak berkorban demi aku dan masa depanku.

Jumat, 22 Juli 2011

Penerima Santunan Dhuafa



Sebuah bilik sempit berukuran dua kali dua meter tampak sepi. Bilik yang berdiri dari anyaman bambu dan tampak usang itu hanya ditinggali oleh seorang nenek berusia lanjut. Panggil saja namanya mbah Inem. Ia tinggal seorang diri karena tidak memiliki keluarga. Beliau tidak mempunyai anak sama sekali. Bilik itupun bukan miliknya. Ia hanya menumpang tinggal di bilik milik keponakannya.





Mbah Inem adalah salah satu penerima manfaat dari LMI Madiun. Karena usianya, beliau tidak mampu lagi untuk bekerja sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Hal ini diperparah dengan kondisi matanya yang telah rabun. Beliau tidak bisa ke mana-mana tanpa tongkat yang menjadi penunjuk jalannya. Mbah inem masih bisa mengurus dirinya sendiri, kecuali memasak untuk makanannya sehari-hari. Maka dari itu, ada seorang relawan yang bersedia memasakkan makanan untuk mbah Inem setiap hari. Lewat relawan inilah LMI menitipkan santunan untuk mbah Inem.





Masih banyak lagi orang yang bernasib sama seperti mbah Inem. Semoga Alloh SWT memberikan kesabaran kepada para mustahik dan memudahkan para donatur yang hendak menyumbangkan donasinya.

Terima Kasih Donatur, Aku Bisa Sekolah Lagi!

Perkenankan aku menyapa para donatur yang baik, yang peduli pada nasib anak-anak sepertiku, yang uluran tangannya menjadi perantara sampainya pertolongan Alloh kepadaku. Namaku Hanif. Aku baru saja bergabung dengan LMI Madiun, menjadi salah satu anak asuh lembaga sosial tersebut. Bermula dari kebingunganku untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Aku baru saja lulus SD dengan nilai baik. Masa-masa di sekolah dasar kulalui dengan lancar, dengan prestasi belajar yang selalu stabil, walau tanpa didampingi penuh oleh orangtuaku.





Ibuku bekerja di luar negeri. Sampai sekarang belum pernah memberi kabar apapun. Mungkin karena keterbatasan alat komunikasi di keluarga kami. Aku tak tahu apakah ibu baik-baik saja di sana, atau bagaimana. Semoga ibu selalu dalam lindungan Alloh SWT. Ayahku... aku tak tahu di mana beliau sekarang. Tak seorangpun keluarga kami yang tahu di mana keberadaannya. Ayah pergi begitu saja ketika aku masih berumur satu tahun, meninggalkan aku dan ibuku yang waktu itu sedang mengandung adikku. Tak pernah ada berita tentangnya, dan tak pernah pulang hingga saat ini.





Sekarang aku dan adikku tinggal di rumah kakek dan nenek bersama salah satu bibiku yang juga masih sekolah. Kami tinggal berlima di sebuah rumah kecil yang sebelumnya berdinding anyaman bambu, tapi Alhamdulillah baru saja rumah kami diperbaiki oleh kelurahan sehingga menjadi lebih layak huni. Kini dinding anyaman bambu tersebut sudah berganti dengan dinding permanen yang batu batanya masih tampak di setiap sisi dinding karena belum ditutup lapisan semen. Ini sudah cukup membantu kami untuk hidup sedikit lebih nyaman. Kami tak menginginkan terlalu banyak. Kami sudah biasa hidup sederhana dan makan seadanya. Yang terpenting saat ini adalah aku, adikku, dan bibiku bisa tetap sekolah.





Walaupun tidak mudah untuk membiayai sekolah kami bertiga, tapi kakek dan nenek selalu berusaha keras untuk memperjuangkan kelanjutan sekolah kami. Insyaalloh akan selalu ada jalan. Seperti yang baru saja kami alami kemarin, ketika aku harus mendaftar di SMP dan bibiku melanjutkan sekolah di sekolah kejuruan padahal kakek dan nenek tak punya uang. Mereka sampai harus pergi ke Ponorogo untuk meminta bantuan biaya kepada pak dhe. Alhamdulillah pak dhe ada sedikit rizki yang bisa digunakan untuk biaya pendaftaran dan seragam sekolah bibiku di SMK Negeri 5 Madiun. Tapi ternyata bantuan dari pak dhe hanya cukup untuk pendaftaran bibiku saja. Lalu bagaimana denganku? Aku juga ingin sekolah...





Do’aku terjawab ketika suatu hari adik kandung nenekku mengajakku ke kantor LMI. Beliau telah cukup lama mengenal LMI dan sering mendapat bantuan modal dari para donatur. Aku menurut saja dan ikut dengannya. Di sana, kuceritakan semua masalahku, harapanku, dan kesulitan-kesulitan yang aku alami. Tanpa menunggu lama, aku langsung menerima bantuan untuk melanjutkan pendidikanku. Aku menerima sejumlah uang untuk membayar lunas biaya pendaftaran di SMP Negeri 7. Satu lagi yang tak kusangka, aku mendapatkan sebuah sepeda dari salah seorang donatur. Sepeda itu yang nantinya akan kugunakan untuk sekolah setiap harinya sehingga aku tak perlu berjalan kaki. Aku sangat bersyukur dengan semua ini. Terima kasih para donatur... semoga usia Bapak/Ibu donatur penuh dengan berkah.

Bantuan Biaya Pendidikan untuk Yatim dan Piatu



Masih ingat dengan Alya (siswi lulusan SMP yang rela bekerja keras di toko & rumah tangga demi melanjutkan sekolah – buletin edisi Juni 2011), Dewa (sang jawara adzan – buletin edisi Mei 2011), dan Vian (siswa yang bertekad membahagiakan orangtuanya (buletin edisi Maret 2011) ? Mereka adalah anak-anak yatim yang telah beberapa tahun menjadi anak asuh binaan LMI Madiun.





Alya, siswi lulusan SMP Negeri 9 yang nyaris putus sekolah karena tak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan. Harus mengalah dengan kedua adiknya yang juga butuh biaya sekolah sementara ibunya sebagai orangtua tunggal hanya bisa mencukupi kebutuhan pangan, itupun belum cukup memadai. Ia sampai harus bekerja dari pagi hingga sore di sebuah toko plastik dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga demi mengumpulkan uang untuk mendaftar sekolah.





Dewa, anak SD jawara adzan yang tak hanya sekali memenangi lomba adzan. Anak yang telah mengaplikasikan baktinya kepada orangtua sejak dini, selalu membantu kakaknya dan menjaga adik-adiknya. Ia baru menyelesaikan pendidikan dasar dan sangat ingin melanjutkan sekolah ke tingkat SMP. Anak yang sangat rajin mengikuti berbagai pembinaan akademis, kurikuler, dan spiritual yang bercita-cita menjadi seorang pilot. Cita-cita yang hampir pupus karena keadaan ekonomi orangtuanya.





Vian, siswa SMP Negeri 8 Madiun yang terbiasa hidup serba susah bersama ibunya yang sakit. Remaja yang bertekad menggantikan ibunya untuk menjadi tulang punggung keluarga, namun tidak mendapat ijin dari sang ibu karena khawatir akan mengganggu belajar Vian. Anak yang selalu sedih karena merasa belum bisa meringankan beban sang ibunda yang sedang sakit. Ia bertekad untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya, dimulai dari bangku sekolah. Meskipun ia sering kesulitan melunasi beragam biaya penunjang, semangatnya tak pernah padam. Kini ia telah lulus SMP dan hendak melanjutkan ke sekolah kejuruan. Masalah baru muncul karena ia butuh biaya masuk yang tidak sedikit, dan... ia tidak memilikinya.





Ada satu anak lagi yang bernasib sama dengan mereka bertiga. Sebut saja namanya Adre, anak piatu yang juga baru lulus SMP. Ia juga sudah beberapa tahun menjadi anak asuh LMI Madiun. Ia anak satu-satunya. Ibunya sakit ketika Adre kelas satu SD dan meninggal ketika Adre di kelas dua SD. Ayahnya tak pernah pulang lagi sejak ibunya meninggal dan tak pernah memberi kabar apapun. Tak ada yang tahu di mana ayahnya. Ia diasuh oleh neneknya dan tinggal bersama paman dan pak dhenya.





Adre tak pernah mengeluh dengan kondisi keluarga, juga dengan keterbatasan yang ia alami. Ia selalu bersemangat untuk sekolah dengan tekad bisa mengubah keadaan keluarganya saat ini. Anak lelaki yang sangat pendiam dengan prestasi sekolah yang membanggakan. Prestasi akademisnya selalu terjaga dan belum pernah jatuh. Hasil ujian di SMP pun memuaskan. Ia mentargetkan sekolah di SMK Negeri 1 Madiun. Di antara para pendaftar, ia menempati posisi urutan ke enam dari atas. Akan tetapi, hal ini belum membuat hatinya lega. Terbayang nominal yang harus ia bayar untuk biaya administrasi pendaftaran.





Mereka berempat adalah putra-putri bangsa yang punya cita-cita tinggi, tekad kuat, dan semangat menyala dalam niat yang luhur. Betapa disayangkan jika mereka harus kehilangan kesempatan hanya karena keterbatasan isi kantong yang tak cukup untuk membeli bangku sekolah. Mereka hanyalah contoh dari sebagian kecil siswa yang nyaris putus sekolah. Hanya saja, mereka sedikit lebih beruntung daripada anak-anak lain yang benar-benar putus sekolah tanpa ada seorangpun yang berniat menyelamatkan masa depannya.





LMI Madiun menyalurkan sebagian donasi dari Bapak/Ibu donatur untuk membiayai pendidikan anak-anak yatim yang kurang mampu dan siswa dhuafa. Sebagian di antaranya adalah Alya yang tahun ini diterima di SMK Negeri 2 Madiun, Dewa di SMP Negeri 9 Madiun, Vian di SMK Negeri 1 Madiun, Adre di SMK Negeri 1 Madiun, dan Hanif di SMP Negeri 7 Madiun, serta anak-anak lain dengan kebutuhan yang berbeda. Mereka kini bisa lebih tenang berangkat ke sekolah walau kendaraan mereka hanya sepeda yang berasal dari para donator LMI.





Keluarga para mustahik (penerima manfaat) yang terdiri dari anak asuh, orangtua dari anak asuh, penerima santunan, dan penerima bantuan modal mengucapkan terima kasih teriring do’a kepada segenap donatur LMI yang telah peduli untuk berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Semoga kepedulian para donatur memperlancar jalan menuju surga. Amin.

Penuturan Penerima Bantuan Modal



“Alhamdulillah... hidup saya sekarang lebih baik, hati saya lebih tenang,” kata seorang pria setengah baya yang tengah duduk di sebuah bangku kecil sambil merapikan tempe-tempe mentah di atas meja ruang tamu. Ia adalah salah satu penerima manfaat dari LMI Madiun. Beliau pernah mengajukan permohonan bantuan modal untuk usahanya. Tadinya baliau adalah seorang tukang becak dan istrinya penjual nasi pecel. Rupanya hasil usaha tersebut belum cukup membantu. Mereka masih saja hidup kekurangan. Sekarang jasa becak memang kurang begitu diminati, penjual nasi pecelpun juga sudah menjamur di setiap penjuru kota hingga kabupaten. Dagangan nasi pecel sering tidak laris, begitupun jasa becaknya.





Pria ini kemudian memikirkan peluang usaha yang lain. Dengan bantuan modal dari LMI, beliau bersama isterinya mengelola warung wedang ronde. Warung tersebut buka mulai sore hari di pinggir jalan Asahan. Beliau dan istrinya memulai persiapan pada pukul tiga sore dengan memasak semua bahan dagangan di rumah. Setelah semua matang, barulah tenda didirikan dan menu minuman hangat seperti wedang ronde, cemoe, dan kopi susu beserta aneka macam gorengan disajikan. Beliau mengaku bahwa hasil penjualan dari warung ronde tersebut jauh lebih baik daripada hasil penjualan nasi pecel walaupun sudah digabung dari hasil penarikan becak.





Di ruang tamu, selain terdapat beberapa peralatan minum, kursi plastik untuk pembeli, dan bahan baku gorengan, ada sebuah meja yang cukup lebar dan berkaki pendek. Meja ini baru setengah jadi dan disandarkan di dinding rumah. “Saya ingin mengembangkan usaha ini. Mungkin nanti saya perlu blue gas untuk warung saya supaya bisa masak langsung di sana. Rencananya saya akan buat warung lesehan dengan menyewa tempat cuci motor di pinggir jalan. Kalau sore kan cuci motornya tutup, jadi mau saya sewa harian. Itu mejanya sudah saya siapkan (sambil menunjuk meja berkaki pendek),” tuturnya. Beliau melanjutkan, “Saya sekarang sudah tidak kekurangan lagi. Dulu saya tidak punya apa-apa. Sekarang paling tidak saya punya kursi.” Beliau tersenyum.





“Dulu untuk makan saja saya masih dibantu oleh anak, sekarang saya bisa membantu makan orang. Tapi saya belum bisa menabung karena semuanya serba cukup. Kadang kalau ada uang lebih, sepuluh ribu saja, akan saya sisihkan untuk LMI. Saya ingin mengembalikan bantuan modal yang dulu saya terima dari LMI. Terima kasih saya kepada para donatur, sekarang hidup saya sudah lebih baik. Saya bisa bernafas dengan lega. Terima kasih...”





“ Kabar Terkini Dari Nila Kare”



Nila sosok bocah kecil yang pernah hadir di buletin ini dan sempat mendapatkan respon positif yang luar biasa dari para pembaca. Kalau pembaca setia bulletin ini ingat tentang kisahnya tentu saja ingin mendengar kabar terkini dari nila.


Tim LMI kembali mengunjungi rumah nila yang sampai kini masih tinggal berdua bersama ibundanya diatas tanah bengkok desa. Perkembangan positif yang sempat terekam dari keluarga ini merupakan dampak dari kepedulian donatur pada Nila.


Nila kecil kini tumbuh jadi sosok yang memiliki pemikiran maju dibandingkan teman-teman sepantarannya.Ditengah-tengah himpitan ekonomi baginya bukan halangan untuk mengasah potensi dirinya.Ini terbukti dengan keaktifannya untuk ikut drumband,kursus computer dan kursus menari. Meskipun beberapa kursusnya putus di tengah jalan karena kendala ekonomi,prestasi di sekolahnya juga tidak pernah lepas dari tiga besar.


Kondisi rumah keluarga ini sudah lebih baik daripad 2 tahun yang lalu.Lubang-lubang di dinding sudah tertutupi semua.Almari pakaian dan meja belajar beserta rak buku sudah dimiliki keluarga ini. Alhamdulillah dana yang terkumpul lewat LMI dimanfaatkan oleh sang ibu selain keperluan sekolah Nila juga dipakai untuk modal jualan di pasar.Sehingga pemasukan keluarga ini tidak hanya bertumpu pada pekerjaan ibunda nila sebagai buruh tani. Harapan dan impian agar nila bisa mengenyam pendidikan hingga kuliah masih tetap terpatri dalam diri sang bunda. Cita-cita setinggi langit juga ingin dicapai Nila. Akankah mimpi Nila terwujud??? Semua tergantung pada perjuangan dan doa mereka berdua, serta kepedulian donatur pada keluarga ini.

Jumat, 15 Juli 2011

Sabita Namaku , Guru Cita-Citaku

Sabita Namaku , Guru Cita-Citaku

Terlahir dr sebuah keluarga yang sederhana dan bersahaja itulah yang sll terukir indah di hatiku. Sebuah nama SABITA, begitulah aku dipanggil. Dgn lima bersaudara aku melihat betapa orang tuaku harus banting tulang untuk menghidupi dan menyekolahkan kami. Namun satu hal yg sangat aku banggakan atas orang tuaku bahwa mereka bekerja dengan tulus demi anak2nya walau mungkin hanya sekedarnya.

Sewaktu aku masih ada di bangku klas IV SD, cita2ku menjadi seorang guru. aku tak tahu bahwa untuk impian itu butuh biaya yg tak sedikit dan waktu yg sangat panjang. aku baru tahu saat duduk di klas VI setelah aku menyimak penjelasan bpk ibu guruku. Apakah mungkin aku dapat wujudkan impianku?

Sejenak aku harus endapkan cita2ku karena aku harus bergumul dgn kesiapan kelulusanku dari jenjang pendidikan dasar. Yang terpikir adalah bagaimana aku bisa lulus dgn hasil yang terbaik. Karena aku sadari hasil itulah yang membuat orang tuaku tersenyum dan seakan menambah rentang batas usia mrk bertambah.

Selain itu saat itu aku sangat ingin sekolah di SMP favorit di kotaku. Sekali lagi aku di hempaskan dgn kenyataan hidup karena ketidak mampuan ekonomi. Dan akupun harus belajar untuk bijaksana memandang hidupku. Tak mungkin bagiku dgn segala keterbatasan yang ada hrs memaksakan citaku maka akupun hrs bisa memuaskan diriku dgn sekolah di tempat yg tak jauh dr rumahku, untuk meringankan beban orang tuaku. Aku harus yakin keterbatasan ini takkan memasung keberhasilanku kelak. Aku juga tak mau memaksakan keinginanku pada orang lain terutama orang tuaku, sabar dan yakin semua pasti ada jalan keluarnya.

Mulailah aku dgn masa sekolah di SMP , aku menikmati suasana baru di sekolahku , teman2ku bertambah banyak. Semua berjalan indah dan aku belajar keras . dalam benakku hanya satu aku ingin yang terbaik untuk bpk ibuku. Di sela kesibukan belajar dan membantu keseharian tak lupa aku selipkan sebait doaku agar orangtuaku diberi kemampuan dan rezeki. Untuk meringankan orang tua maka kakakkupun membantu pembiayaan sekolahku.

Waktu berjalan dgn pesat nilai raporku membuat orang tua dan kakaku tersenyum. Begitupula banyak lomba dan kompetisi yang kumenangkan. Semua tak lepas dr motivasi dan semangat yang diberikan orangtuaku. semua membekas dan terpahat di dadaku…“Nduk… walau kita tak berpunya kamu harus punya cita2, kamu harus belajar yang rajin ya nduk…agar kamu tidak seperti bpk dan ibu…”

Hingga tak terasa akupun sudah diambang detik2 UNAS. Targetku lima besar tercapai . tak kuhiraukan lelah keluh dan kesah yang ada di jiwaku. Yang aku mau bagaimana aku bisa menggunakan fasilitas sekolah yang mengadakan bimbel gratis. Motoku hanya satu…”Aku bisa dan aku pasti bisa”….Sebab aku tahu orang tuaku juga kakakku sudah banting tulang untukku, Alhamdulillah segala kegigihanku, dan doa orang tuaku terjawab,…aku lulus dgn posisi 4 besar.

memang hidup ini bak roda dan aku tak mau terhempas aku harus kuat. Cita2ku hampir kandas. Orang tuaku sdh tidak kuat untuk bekerja dan kakakkupun sudah dipinang orang. Tak mungkin aku meneruskan studiku..dan akupun berusaha memutar haluan hidupku…dgn bekerja

Tak kuhirau teguran guruku saat beliau nasehati agar aku melanjutkan sekolah. dengan terbata2 kusampaikan ”apakah mungkin dengan sepetak tanah yang hanya mampu menghasilkan uang 3 atau 4 bln sekali dan hanya cukup untuk makan, lalu hrs membiayai sekolahku setiap bulan ?”. Beliaupun menasehatiku “ tabah dan sabar, sebab semua sudah diatur Alloh SWT dan yakinlah semua ada penyelesaiannya… Bu guru yakin kamu pasti bisa melaluinya”.

Saat pembagian ijazahpun tiba. Bersamaan dengan itu aku ditawari guruku untuk bekerja di rumahnya. Akupun minta pertimbangan bpk ibu dan kakakku. Mulailah aku menjadi pengsuh bayi guruku.

Setiap hari aku berjibaku dgn pekerjaan mengasuh bayi yg baru berusia 3bln. Bangun pagi tak nyenyak tidurkupun sudah menjadi kebiasaan dalam hidupku. Kujalani semua dengan senyum dan sabar. Dan Tak terasa tibalah tahun ajaran baru. Aku ditawari guruku untuk sekolah di sekolah kejuruan di Madiun

Aku harus bangkit. Aku tatap masa depanku. Aku kayuh roda hidupku…aku nikmati epidode hidupku. Dan akhirnya akupun mampu adaptasi. Tak terasa temankupun bertambah. Tak lupa disaat saat tertentupun aku selalu curhat dengan guru yang membiayaiku. Untuk pengayaan mentalkupun guruku mengenalkan aku dengan pembinaan rutin yang diadakan LMI.

Akupun akhirnya menjadi anak asuh binaan lembaga sosial yang mengelola keuangan umat dan pemberdayaan umat tersebut. Sungguh dunia lain yang membuatku bisa menatap ke depan… aku pun makin tahu bahwa hidup ini indah dan aku ingin tetap bermanfaat dengan kehidupanku. Mulailah aku asah kembali cita2ku dan kelak impianku ingin aku wujudkan dlm kehidupan nyataku….amin.