Sabtu, 25 Juli 2009

Anak saya tak mungkin sembuh...





Hari Rabu tanggal 22 Juli 2009 kami menerima telepon dari LMI Surabaya. Mereka memberitahukan kepada kami adanya sebuah pengajuan bantuan dari Agus Purwanto yang mengaku beralamat di Ponorogo dan juga mengaku telah 13 tahun menderita sakit.





Menurut pengakuannya beliau menderita kelumpuhan dan bertahun-tahun hanya bisa terbaring di tempat tidurnya. LMI Surabaya meminta alamat email kami dan meminta LMI Madiun untuk mencover dengan pertimbangan lokasi yang lebih dekat.





Pada keesokan harinya kami membuka email sudah ada satu email yang masuk. Email forward dari seorang yang berinisial Agus Purwanto. Sama seperti yang diceritakan LMI Surabaya.





Kami segera melakukan pengecekan dengan bantuan Ustadz Samsudin yang sering mengisi kajian yang kami selenggarakan untuk donator di LMI Madiun. Ternyata yang mengajukan adalah teman istri Ustadz Samsudin sendiri pada saat sekolah diniyah.





Hari Sabtu 25 Juli 2009 Tim LMI Madiun meluncur ke alamat mertua Ustadz Samsudin yang berdekatan dengan rumah Agus Purwanto. Meskipun Ustadz Samsudin sedang sakit, dengan jalan masih terpincang beliau mengantar kami menjemput Bapak Arif, ketua RT tempat Agus Purwanto tinggal.







TINGGAL DI GUBUG UKURAN 3 X 3 METER





Dekat rumahnya, kami melihat sebuah gubug bamboo kecil di sudut sebuah rumah tua yang kurang terawatt. Kami khawatir, jangan-jangan Agus ditempatkan oleh keluarganya di gubug berukuran 3X3 itu. Dan kekhawatiran kami akhirnya terbukti. Agus purwanto tinggal setiap hari di gubug itu.





Gubug beratapkan genteng tua, dengan konstruksi kayu, hanya beralaskan tanah, berdinding anyaman bambu. Anyaman bambu ini kalau di desa biasa digunakan petani untuk menjemur padi setelah panen, sebelum disimpan di lumbung. Beberapa daerah menyebutnya dengan istilah ”KEPANG”.





”Gubug ini yang membuat teman-temannya Mas. Dulu agus ini tinggal di dalam rumah, di kamar yang sumpek. Agus ingin menghirup udara lebih bebas agar lebih fresh dan mengurangi stress. Maka teman-temannya datang dan membuat gubug ini” demikian ibunya menyampaikan perihal tinggalnya Agus di gubug itu.





Saat kami dipersilakan masuk oleh sang ibu, kami segera melongok ke dalam dulu. Kami melihat sosok yang sangat kurus terbaring di dipan kayu dengan kasur kapuk tipis yang terbungkus sprei putih kusut. Kecilnya sprei membuat kasur tidak seluruhnya tertutupi olehnya. Badan yang sangat kurus itu tertutup selimut motif garis putih dan merah. Selimut yang kotor dan kasar. Diatas perutnya teronggok sebuah jaket kumal yang sengaja digunakan sedikit menutup bagian perut hingga paha atas.





Tampak juga banyak benda diatas kasur itu. Ada tongkat jalan, ada pipa aluminium yang biasa kita lihat di antena tv, ada kayu, alat linting rokok, asbak, botol aqua ukuran 1500 cc, Spidol besar, mouse, terminal listrik, terlihat juga pisang yang tinggal 2 biji. Di atas dadanya tampak kertas dan diatas kertas terdapat korek gas berwarna biru.





Kami segera masuk setelah mengucapkan salam. Dan dijawab dengan cukup lantang oleh agus. Pada saat kami masuk, Agus sedang mendengarkan alunan lagu dari Compo Polytron yang diletakkan diatas meja sebelah kirinya.





Setelah menceritakan maksud kedatangan kami sebagaimana kami sampaikan diatas, kami segera menanyakan kabar dan menanyakan awal mula beliau menderita sakit seperti sekarang.







SAKIT SEJAK SMA





Rasa sakit dirasakan oleh Agus sejak kelas satu SMA. Saat itu Agus merasakan nyeri pada persendia dan tulangnya sebagaimana flu tulang. Rasa sakit saat itu masih bisa ditahan dan tidak begitu mengganggu aktivitas belajarnya sampai berhasil menyelesaikan SMA dengan prestasi yang sangat baik.





Rasa sakit tidak menghalangi mimpi dan cita-citanya. Peluang untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi melalui jalur khusus yang saat itu disebut PMDK diambilnya, memilih Fakultas Teknik, Program Studi Matematika (sekarang FMIPA - Matematika), Universitas Sebelas Maret (UNS) – Surakarta. Berkat kepintarannya Agus diterima dan berhak mendapatkan bantuan pendidikan berupa beasiswa supersemar.





Rasa sakit masih terus dirasakannya, dan akhirnya pada semester 7 Agus terpaksa meninggalkan bangku kuliahnya karena sakit yang diderita telah menjadikannya seorang manusia yang lumpuh. Postur tubuh yang tadinya gemuk berangsur-angsur mengecil. Tulang-tulangnya yang sejak lama sakit menjadi tampak semakin kecil tanpa banyak daging yang melekat. Seluruh sendi tulangnya mengapur, mengeras dan tak dapat digerakkan lagi. Agus terbaring total pada tahun 1996.





Agus menjadi manusia kaku mulai leher, punggung, pinggul, pinggang, lutut hingga kaki bagian bawah dan jarinya menjadi kaku tidak bisa digerakkan dan tidak bisa ditekuk. Agus hanya bisa terbaring, terbujur kaku diatas tempat tidur tuanya. Dari semua bagian tubuhnya hanya tangan yang bisa digerakkan. Bagian yang lain semua kaku, bahkan untuk menengokpun tidak bisa, hanya matanya yang melirik kanan-kiri saat berkomunikasi dengan kami. Tidurpun Agus tidak menggunakan bantal. Leher yang sudah kaku akan menjadi sangat sakit jika diberi bantal di bawah kepalanya.







USAHA PENYEMBUHAN





Pengobatan beberapa saat di RS Moewardi Surakarta sebenarnya sempat mengurangi rasa sakitnya dan harus dilanjutkan dengan rawat jalan. Akan tetapi karena keterbatasan dana menjadikan Agus dan keluarganya menyerah pada nasib. Bersabar dan menikmati apa yang Allah berikan kepadanya.





Hingga saat ini berarti sudah 13 tahun terbaring diatas tempat tidur. Semua aktivitas dilakukan dari atas tempat tidurnya, termasuk buang air besar maupun buang air kecil.





Agus menjadi perokok sejak terbaring dan Buang air di atas tempat tidur. Katanya untuk menghilangkan bau tidak sedap.





13 tahun terbaring diatas tempat tidur menjadikan punggung Agus bukan hanya terasa panas, tapi sampai lecet dan bahkan menjadi luka. Awalnya dirawat menggunakan revanol, ditutup kapas dan diplester, tapi itu menimbulkan rasa sakit luar biasa saat mengganti kapas. Kapasnya melekat pada luka dan susah untuk dilepas. Sekarang hanya dibersihkan dengan revanol dan ditutup dengan penutup luka semacam tansoplast atau hansaplast.





Saat memeriksakan sakitnya di RSD Ponorogo, pihak RSD di Ponorogo sudah menyerah dan menyarankan untuk berobat di RS yang lebih lengkap. Saat di RS Ponorogo hanya diberikan vitamin dan beberapa obat yang sangat dibutuhkan. Atas semua layanan RSD keluarga Agus harus membayar, karena tak ada fasilitas gratis untuk Agus meskipun dia dan keluarga saat itu tergolong miskin.





Pengajuan permohonan untuk bisa dirawat gratis tidak mendapatkan respon. Demikian juga permohonan bantuan vitamin dan obat sekedar untuk meringankan sakitnya tidak ada respon dari pihak rumah sakit. Pernah suatu saat Agus mengajukan permohonan sumbangan bed seperti yang biasa digunakan oleh rumah sakit juga ditolak. Bed yang dimaksud agus adalah sekedar Bed yang disamping kanan dan kirinya terdapat pegangan agar kalau Agus ingin sedikit miring, bisa dilakukan sendiri dengan berpegangan pada pegangan yang tersedia. Kamipun memaklumi bahwa semua ada prosedur di sana.







ANAK YATIM YANG INGIN BAHAGIA





Selama ini sang ibu yang merawat Agus karena tidak ada lagi keluarga yang lain. Ayahnya sudah meninggalkan Agus dan sang ibu sejak usia Agus enam bulan. Saat meninggal usia sang ayah 35 tahun, usia yang sangat muda. Agus sendiri sejak kecil merasa sengsara karena menjadi anak yatim dengan segala keterbatasannya.





”dulu saya selalu berdoa, meskipun masa kecil saya susah, semoga suatu saat nanti saya menjadi orang yang bahagia. Eh ternyata malah jadinya begini. Sepanjang hidup harus terbaring sakit diatas tempat tidur” begitu ungkap agus dengan nada kepasrahan. Mendengar pernyataan agus tersebut kami dan Ustadz Samsudin berusaha membesarkan hati dan harapan agus.





”Mas, kebahagiaan itu adanya di sini, di dalam dada kita. Jangan dikira orang sehat seperti kami ini dijamin bahagia. Belum tentu. Para pejabat, mereka yang memiliki kedudukan tinggi, orang-orang kaya, itu bukan jaminan mereka bahagia di dalam hidupnya. Akan tetapi orang-orang yang diberikan oleh Allah cobaan dan ujian, sesungguhnya dosa-dosa mereka diampuni oleh Allah. Penderitaan fisik yang saat ini dialami, jika diterima dengan sabar dan lapang hati insya Allah akan mendatangkan pahala dan kebahagiaan.”





”Jadi intinya ada di hati kita. Mau kita jadikan hidup kita bermakna ataukah berlalu begitu saja tanpa makna. Semuanya tergantung kita. Penyesalan kita akan kondisi saat ini, tidak akan pernah menjadikan semua akan berubah. Jadi jalan satu-satunya adalah menerima semuanya dengan sabar dan tawakkal.”





Sang ayah memang dulunya adalah anggota ABRI yang berhak atas dana pensiun, akan tetapi banyaknya biaya yang harus ditanggung untuk pengobatan Agus dan terpaksa meminjam bank, menjadikan sisa pensiun yang diterima saat ini hanya 83.000 per bulan. Jumlah ini tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya bersama sang ibu.





Sebenarnya saudaranya sudah banyak membantu, akan tetapi karena kebutuhannya menjadikan sang ibu masih harus meminjam kesana kemari. Tidak hanya perorangan tapi sampai RT dan Rentenir.





“Saya terpaksa Mas, kalau tidak begini bagaimana saya memenuhi kebutuhan anak saya. Yang saya pikirnkan hanya bagaimana asupan gizi dan obat-obatan anak saya tercukupi. Saya mau pinjam saudara lagi sudah sungkan. Bagaimanapun mereka sudah berkeluarga dan membiayai anak-anak mereka sekolah juga. Akhirnya waktu saya butuh uang untuk kebutuhan obat Agus ada rentenir yang menawari, saya ambil juga. Saya sudah tidak punya jalan lagi mas. Dulu saya sesekali dimintai tolong tetangga dan kenalan membuatkan snack, tapi sekarang modal saya semua sudah habis.”





“Saya juga tidak bisa meninggalkan Agus sendirian karena semua aktivitasnya harus saya bantu.”







SANG IBU YANG MERAWAT AGUSPUN JUGA SAKIT





”Saya sendiri sebenarnya juga sakit Mas, saya kena Diabetes, tapi juga tidak mungkin berobat karena tidak ada biaya.”





Ya. Sejak lama sang ibupun sakit, akan tetapi karena biaya yang tidak ada maka tak ada usaha pengobatan diabetesnya. Sang ibu hanya bisa menerima apa yang Allah berikan kepada keluarganya.





Kalau Anda berkunjung ke gubug mereka, Anda akan melihat sang ibu dengan mata cekungnya, terlihat sangat capek, kurus, matanya tak bersinar sebagaimana mereka yang sehat dan memiliki harapan poanjang. Kita bisa memaklumi, 13 tahun mengurus anak dengan kondisi seperti itu, apalagi dalam kondisi sakit.





Dari semua kata yang terlontar, sangat nampak bagaimana sang ibu menerima kondisi keluarganya. Sangat tipis perbedaan yang kami lihat antara pasrah, lelah ataukah putus asa. Kami terhenyak dengan satu ucapan beliau saat mengantar kami pulang. Di depan rumahnya beliau mengatakan, “Anak saya tidak mungkin sembuh Mas, saya hanya berusaha memenuhi semua kebutuhannya, sak kuat saya. Anak saya sudah seperti itu 13 tahun. Semoga saja anak saya diberikan kekuatan dan umur yang panjang.”







KEBUTUHAN MENDESAK SEKARANG





Sebelum kami pulang, kami menanyakan kepada Agus, kebutuhan apa yang sangat mendesak. Agus menyampaikan yang sangat dibutuhkan selain bahan makanan, obat-obatan juga Bed dengan pegangan di samping kanan kirinya.





Sebenarnya kalau kami melihat tentu lebih dari itu. Mulai kasur-sprei, bantal untuk mengganjal beberapa bagian tubuh jika dibutuhkan, pakaian, selimut, mengganti dinding dll.





Ibunya mengatakan kalau yang paling mendesak adalah obat-obatan. Beliau menyebutkan Agus butuh Ravanol, kapas untuk membersihkan luka. Tensoplast/hansaplast, voltaren, suplemen seperti madu, bee pollen, liquid chlorophil dan lain-lain untu menggantikan asupan gizi. Selama ini Agus jarang mengkonsumsi nasi dalam jumlah standar karena perutnya juga bermasalah.





Bagi Anda yang ingin melihat Foto-foto Agus ada http://fotolmimadiun1.blogspot.com/2009/07/agus-purwanto-si-cerdas-yang-lumpuh.html











Hormat Kami





Miftahurrohman



=====

Tidak ada komentar:

Posting Komentar