Kamis, 23 Juni 2011

Enterpreneur Muda dari Bangku SD

Enterpreneur Muda dari Bangku SD

Siang hari yang cukup terik. Seorang bocah berperawakan kurus berjalan menyusuri jalan setapak, melewati rumah demi rumah. Tangan kanannya menjinjing keranjang plastik hijau muda berisi aneka jajanan. Rupanya ia tengah menjajakan dagangan yang baru saja selesai dimasaknya sendiri. Keluar masuk kampus dan gang kecil sudah sering dijalaninya tanpa mengeluh. Ia biasa memulai aktivitasnya sepulang sekolah dengan memasak aneka jajanan yang akan dijual. Semuanya buatan dapur sendiri. Sang ibu yang mengajarinya cara memasak aneka makanan kecil itu. Pukul dua siang baru ia berangkat berjualan sambil berjalan kaki.

Lokasi pertama yang ia tuju adalah salah satu perguruan tinggi swasta di kota Madiun. Sebelum tiba di lokasi perguruan tinggi tersebut, seorang anak kecil dengan sepede mungil menghentikan langkahnya. Rupanya anak kecil itu adalah adiknya yang baru saja membeli cabai dari warung dan mengantarkannya pada sang kakak. Tentu saja cabai-cabai itu adalah pelengkap bagi sebagian jajanan yang akan dijual. Karena sudah cukup lama berjualan di lokasi kampus, ia telah mempunyai langganan tetap. Sehari saja anak ini tidak berjualan, para langganan akan kecewa karena sudah terlanjur menantikan jajanannya. Setelah sekitar satu setengah jam di sana, baru ia mulai berkeliling ke tempat lain. Biasanya ia berkeliling di jalan-jalan area pemukiman yang tak terlalu jauh dari kampus.

Ketika waktu Ashar tiba, ia menunaikan salat di masjid manapun yang ia lewati. Keranjang makanan ringan yang ia bawa diletakkan begitu saja di masjid tanpa dijaga oleh siapapun. Sebuah bentuk tawakal yang bisa disaksikan oleh seluruh jama’ah masjid. Sebuah bentuk tawakal oleh seorang hamba Alloh yang masih sangat belia. Keranjang makanan itu mungkin bukan hal besar untuk sebagian orang. Tapi untuk pekerja keras kecil ini, keranjang itu punya arti besar untuk kelangsungan sekolahnya. Dari hasil penjualan makanan ringan itulah sebagian kebutuhan sekolahnya dapat dilunasi.

Anak ini mengaku berjualan atas inisiatifnya sendiri,sebagai upaya untuk membantu sang ibu. Ia adalah putra sulung di keluarganya, dengan tiga orang adik yang masih kecil. Adik-adiknya masih duduk di kelas satu dan kelas dua SD, dan yang bungsu masih bayi. Ia sendiri masih berada di kelas lima Sekolah Dasar. Ibunya adalah seorang tukang pijat. Dengan keahlian inilah sang ibu berusaha memenuhi kebutuhan rumah tangga. Akan tetapi, tak selalu ada orang yang membutuhkan jasa ini setiap harinya. Kondisi tersebut sudah cukup sebagai alasan untuk menekan pengeluaran, termasuk untuk kebutuhan makan sehari-hari. Rupanya hal ini mendorong si putra sulung untuk berpikir kreatif dan berusaha keras.

Hari demi hari dijalaninya bersama keranjang hijau berisi makanan kecil yang setia menemani perjuangannya. Ia begitu serius menekuni usaha tersebut, bahkan ingin mengembangkannya. Ia juga sudah mempunyai beberapa target yang hendak diraih, diantaranya mengembangkan aneka dagangannya, punya lokasi tetap untuk berjualan, dan mengejar citanya menjadi koki di sebuah restaurant. Target yang mungkin tak terpikirkan oleh anak-anak lain seusianya. Dalam usia yang sangat belia ia telah merencanakan semua itu. Tentu saja bukan sekedar angan tanpa usaha. Setelah ia bisa membuat berbagai macam jajanan yang selama ini laris saat penjualan, sekarang ia akan belajar membuat ragam kue yang lain lagi. Beberapa macam peralatan memasak roti telah lama singgah dalam pikirannya. Peralatan tersebut merupakan alat pokok yang harus dimiliki, tapi untuk bisa membelinya ia harus berpikir ulang.

Iapun memikirkan target yang lain, yakni lokasi penjualan. Dengan keadaannya, ia menyadari belum bisa mendirikan warung sendiri. Tapi ini tak membuatnya menyerah. Ia sering mengamati sebuah warung yang berdiri tegak di suatu lokasi strategis yaitu di dekat perguruan tinggi, tempat cuci mobil yang lumayan besar, dan dekat jalan raya yang ramai. Warung ini biasa digunakan pemiliknya untuk berjualan di malam hari, dan ia berencana minta ijin pada pemiliknya untuk meminjamnya di siang hari. Anak semuda itu sudah memikirkan cara yang akan digunakan untuk lobbying kepada pemilik warung.

Kesulitan demi kesulitan tak membuatnya putus asa. Ia menjalani semuanya dengan penuh semangat tiap siang hingga sore hari. Setiap sore ia pulang ke rumah antara pukul lima sore sampai ketika waktu Maghrib. Seluruh uang hasil penjualan ia serahkan pada ibunya, bahkan ia tak pernah menggunakan sebagian uang yang ia hasilkan untuk sekedar jajan. Setiba di rumah, enterpreneur muda ini bergegas ke masjid untuk melaksanakan adzan. Ia biasa menjadi muadzin Maghrib dan Isya’ di masjid yang terletak tepat di samping rumahnya. Masjid bercat putih ini berdiri di sisi kiri rumah kontrakannya. Rumah berdinding anyaman bambu, beratap asbes, dan berlantai tanah yang selama ini menjadi tempat hidup keluarganya. Masjid yang turut serta menjadi saksi kerja keras entrepreneur muda yang belajar wirausaha secara langsung dari lingkungan tanpa bekal apapun, kecuali tekad dan tujuan nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar