Kamis, 23 Juni 2011

Siswi Piatu di Bangku SD

Siswi Piatu di Bangku SD

Suara riuh rendah menggema di setiap sudut gedung sekolah ketika bell berbunyi. Pelajaran telah usai dan murid-murid bersiap pulang ke rumah masing-masing. SD Negeri Nambangan Lor 1. Di sekolah inilah aku belajar selama enam tahun, menjadi siswi aktif sampai saat ini. Kini aku akan segera memasuki jenjang SMP.

Aku mengayuh sepedaku perlahan menyusuri jalan kecil yang ramai. Hari yang terik, tapi ini bukan hal baru untukku. Kubelokkan sepedaku ke sebuah gang sempit, lalu belok lagi masuk ke gang yang lebih sempit, dan satu belokan lagi ke dalam gang yang sangat sempit di antara jepitan dinding rumah tetanggaku. Aku harus hati-hati supaya tidak tergores dinding. Sesampainya di depan rumah, kutuntun sepedaku turun dari jalan ke halaman rumah yang sempit. Permukaan halaman dan rumahku memang lebih rendah dari jalan yang kulewati tadi. Mungkin sekitar tiga per empat meter.

Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakakku tinggal di kota lain. Ibuku sudah lama meninggal. Aku hanya tinggal bersama ayahku di rumah kontrakan ini. Walaupun demikian, aku lebih sering tinggal sendirian di rumah. Ayahku seorang kuli penambangan pasir. Pekerjaan itu membuat ayah sering pulang larut malam. Aku yang harus menjaga dan mengurus rumah. Biasanya ayah pulang sekitar pukul satu dini hari.

Ayah membanting tulang seolah tanpa lelah. Semua itu ia lakukan demi mencukupi kebutuhan kami. Beliau rela bekerja apa saja dan sering berganti-ganti pekerjaan di luar aktivitasnya menambang pasir. Sepulang bekerjapun, ayah juga sering menggantikanku mengerjakan pekerjaan rumah tangga supaya aku bisa belajar. Ayah pasti ingin supaya aku jadi orang sukses.

Kuparkirkan kendaraan satu-satunya milik keluargaku ini di halaman dan segera masuk ke rumah. Sebuah rumah kontrakan semi permanen yang tampak tua dan kumuh, yang hanya memiliki satu buah pintu dan tanpa satupun jendela. Sebagian dindingnya mulai berlumut karena lembab. Atapnya sering bocor di sana-sini ketika hujan. Ayah tak punya uang untuk memperbaikinya. Jadi aku harus bisa mengatasi keadaan ini sendirian jika ayah belum pulang dari bekerja. Terkadang aku ingin bisa berkumpul dengan ibu lagi. Tapi bagaimana mungkin, ibuku telah menghadap Alloh SWT. Aku hanya bisa berdo’a semoga Alloh SWT mengampuni dosa-dosa ibu dan menerima semua amal yang pernah beliau usahakan.

Tas sekolah kuletakkan di tikar plastik yang terhampar di ruang tamu. Kami memang tak punya meja dan kursi. Semua aktivitas kami lakukan di tikar ini. Di sinilah pusat semua kegiatan di rumah. Ruang tamu sekaligus kamar tidur, dapur, ruang makan, ruang belajar, dan banyak lagi. Sebagian barang sengaja kami letakkan di teras atau di halaman karena di dalam rumah sudah sangat sesak. Tak ada yang menyangka kalau yang ada di depan tempat tinggalku adalah teras depan sebuah rumah. Semua orang yang baru melihatnya akan mengira bahwa itu adalah bagian belakang rumah. Orang-orang yang mengunjungiku biasanya sangat kesulitan menemukan jalan menuju rumah ini, dan setelah sampai mereka selalu terkejut. Aku maklum saja, memang beginilah rumah yang kutempati bersama ayah.

Aku tak pernah menyesal dengan keadaan ini. Dari ayah aku belajar banyak hal. Salah satu sikap yang selalu kuperhatikan pada diri ayahku adalah keikhlasannya dalam menerima segala sesuatu tanpa mengeluh, dan terus berjuang untuk menjadi lebih baik. Maka akupun akan terus berusaha untuk memperbaiki keadaan kami. Cara yang harus kutempuh saat ini adalah dengan giat belajar dan meningkatkan prestasiku. Aku akan terus sekolah walau biaya pendidikan saat ini semakin mencekik leher, terutama bagi orang orang sekelas kami.

Aku yakin Alloh akan membantuku jika aku sungguh-sungguh berusaha. Kulakukan tugasku semaksimal mungkin, dan kuserahkan hasilnya pada Yang Maha Kuasa. Kuharap suatu saat aku bisa membuat ayahku bangga. Ayah, orangtuaku satu-satunya yang telah banyak berkorban demi aku dan masa depanku.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar