Kamis, 23 Juni 2011

Si Yatim Jawara Adzan

Si Yatim Jawara Adzan

Aku adalah anak dari seorang penjual mainan. Dewa namaku (bukan nama sebenarnya). Aku tinggal bersama keluargaku di sebuah rumah yang sangat sederhana, berdidinding batu bata dan sebagian anyaman bambu. Alasnya hanya tanah. Rumah itu didirikan di atas tanah pemerintah karena kami tak punya pilihan lain. Tiap hari aku berangkat ke sekolah dengan sepeda. Jarak yang cukup jauh sebenarnya untuk anak seusiaku, apalagi dengan mengayuh sepeda. Tapi aku tidak putus asa. Mungkin aku masih lebih beruntung karena masih bisa sekolah.

Aku terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Kedua adikku masih kecil dan salah satunya masih bayi. Aku dan kakakku sama-sama berada di tingkat akhir sekolah. Aku kelas enam SD dan kakakku kelas sembilan SMP. Kami sudah lama menjadi anak asuh LMI Cabang Madiun. Yah, kami sama-sama bersiap menghadapi Ujian Nasional. Ibuku yang berusia tiga puluh tiga tahun sendirian mengurus kami. Beliau harus pontang-panting sendiri karena ayahku telah meninggal. Ibu tiap hari berdagang keliling menjual mainan demi anak-anaknya. Ibu memang hanya lulusam SMP. Dengan penghasilan tak lebih dari seratus lima puluh ribu perbulan -itupun tak pasti- ibu harus menghidupi empat orang anak, juga membiayai pendidikan dua putra yang hampir lulus sekolah. Aku tahu biaya untuk ujian nasional pasti tidak sedikit.

Andai aku bisa membantu meringankan beban ibu... tapi sampai saat ini aku hanya bisa membantu menjaga adik jika ibu sedang repot. Aku tahu ibu sangat kelelahan, hingga beberapa waktu yang lalu ibu jatuh sakit. Tak hanya ibu, adikku juga ikut sakit. Aku dan kakakku jadi bingung. Kakakku sampai mengorbankan waktu belajarnya untuk merawat ibu dan adikku, sampai-sampai kakak beberapa kali bolos les. Padahal aku tahu bahwa kakak sangat senang ikut les di sekolah dan bimbingan belajar dari LMI. Apalagi mendekati detik-detik UNAS seperti ini. Aku jadi tak tega melihat kakakku yang semakin hari terlihat semakin letih.

Aku mungkin tak bisa membantu banyak untuk ibu, tapi aku ingin bisa membuatnya bangga. Maka aku dan kakak selalu berusaha menjadi anak yang baik dan siswa yang berprestasi. Kami menyadari bahwa kami ada dalam keterbatasan, baik biaya, fasilitas penunjang, maupun gizi. Jadi kami tak mau menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada. Aku dan kakak selalu hadir di setiap bimbingan belajar gratis, terutama di LMI. Di sana kami diajar beberapa mata pelajaran yang dijadikan bahan ujian. Selain itu kami juga mengikuti bimbingan spiritual.

Alhamdulillah, walaupun kami dalam keterbatasan Alloh masih memberi kesempatan dari jalan lain. Akupun dengan bangga menunjukkan pada ibu ketika meraih peringkat empat di ujian semester, dan kakakku meraih peringkat lima di sekolahnya. Tentu masih perlu ditingkatkan. Tapi aku bersyukur, ternyata keterbatasanku tidak menjadi penghambat untuk meraih apa yang bisa diraih teman-temanku. Kelak, aku ingin jadi polisi. Aku memang belum tahu bagaimana caranya, apalagi biayanya. Tapi aku yakin tak ada yang tak mungkin selagi aku mau berusaha dan terus berdo’a pada Alloh SWT.

Aku menyadari bahwa dalam keterbatasan ini aku harus bisa mencari celah lain untuk mengembangkan diri. Aku perlu mencari pengalaman dan memperbanyak teman. Aku juga harus menggali potensiku, yang aku sendiri belum tahu pasti apa potensiku sebenarnya. Kuputuskan untuk aktif mengikuti PRAMUKA di sekolah dan kegiatan TPA. Ternyata tak hanya pengetahuan lebih yang kudapatkan, temanku juga lebih banyak. Aku memang cepat beradaptasi dengan lingkungan baru dan dunia baru, sedikit berbeda dengan kakakku yang agak pendiam dan pemalu. Kalau kakak, memilih lebih banyak mengikuti IB.

Mungkin karena bergaul dengan anak-anak TPA dan dekat dengan masjid, aku suka sekali pada adzan. Bahkan pernah ketika di LMI aku ditanya tentang keahlianku, kujawab saja ‘adzan’. Ketika di masjid Mujahidin ada lomba adzan, aku juga ikut serta. Tanpa kuduga aku memenangkan lomba itu sebagai juara satu lomba adzan. Alhamdulillah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar