Kamis, 23 Juni 2011

Kisah Seorang Piatu

Kisah Seorang Piatu

Namaku Mia (nama samaran). Aku seorang anak piatu yang tinggal di sebuah rumah sederhana di salah satu gang sempit di jalan Merapi. Aku anak ke tiga dari tiga bersaudara. Aku hanya tinggal bersama ayah karena ibuku sudah meninggal dan kedua kakakku sudah berkeluarga. Ibu meninggal di rumah sakit ketika aku mengikuti UAN SMP untuk kelulusan, tepat pada hari terakhir ujian. Ibu menderita kanker payudara. Selama hidupnya ternyata ibu menutupi penyakit kanker yang dideritanya hingga sampai sadium akhir dan merenggut nyawa ibu. Tentu saja aku sangat sedih dan kehilangan. Ketika teman-teman seusiaku didampingi ibunya ketika mempersiapkan UAN, aku harus rela belajar sendiri tanpa dukungan dari ibu. Apa boleh buat. Tapi yang kusesalkan adalah karena aku terlambat menjenguk ibu sehingga ibu menghembuskan nafas terakhir sebelum aku sempat menjenguknya di rumah sakit. Ternyata hanya sebentar saja aku bisa merasakan kasih sayang dari ibuku. Bahkan aku belum membalasnya, menjenguk ketika bliau masih terbaring di rimah sakit saja aku belum sempat. Tapi aku yakin ibu mengerti karena waktu itu aku harus focus dulu pada UANku. Sekarang aku hanya bisa mendoakannya.

Kepergian ibu ternyata berdampak besar pada keluargaku. Dulu sebelum ibu meninggal, perekonomian keluarga sangat tercukupi. Ibulah yang menjadi tulang punggung keluarga. Sebenarnya ibu hanya bekerja sebagai tukang pijat, tapi Alhamdulillah pekerjaan itu cukup untuk membantu perekonomian keluargaku. Aku tak pernah malu menjadi anak seorang tukang pijat, karena yang aku tahu pekerjaan itu halal. Berapapun penghasilannya, itu bukan yang terpenting untukku, karena bagiku keluargaku lebih penting. Tapi rupanya cobaan untuk keluargaku masih bertambah. Perekonomian keluargaku jadi benar-benar tidak menentu sepeninggal ibu.

Ayah sudah lanjut usia sehingga tidak mampu lagi untuk bekerja. Untuk hidup sehari-hari, kami hanya mengandalkan hasil penjualan pisang dari kebun yang sempit kepada orang yang ada di pasar, dan pemberian uang dari kakakku. Terkadang aku harus berhutang dulu di warung jika sedang tidak punya uang. Aku juga tidak ingin berhutang di warung, tetapi mau bagaimana lagi? Aku dan ayahku tetap punya kebutuhan, meskipun kami sering tidak punya uang. Biasanya aku akan melunasi hutang itu ketika kakakku memberikan uang lagi.

Sekarang aku berada di bangku kelas tiga di sebuah SMA swasta di kota Madiun. Kakakku harus banting tulang sendirian untuk membiayai sekolahku. Aku tahu kakak melakukannya dengan susah payah, jadi aku tak boleh mengecewakannya. Maka aku harus sekolah sungguh-sungguh dan tidak putus asa walaupun aku harus jalan kaki ke sekolah dan kadang-kadang tanpa membawa uang saku. Tapi semua itu tidak menghalangiku untuk giat sekolah. Alhamdulillah prestasiku di sekolah tetap baik, secara akademis maupun non akademis. Aku juga ikut serta dalam beberapa kegiatan ekstrakulikuler dan organisasi di sekolah. Aku yakin akan mendapat banyak manfaat dan pegalaman dari semua yang pernah aku usahakan. Aku ingin jadi orang sukses suatu saat nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar