Kamis, 23 Juni 2011

MEMPRIHATINKAN : ADAKAH YANG MASIH PEDULI…???











ADAKAH YANG MASIH PEDULI…???



Sebuah sungai mengalir tenang membelah daratan. Airnya keruh berwarna kecoklatan dan riaknya bergemuruh lembut. Beberapa meter dari sungai tersebut berada, sekelompok anak kecil tengah asyik bermain suatu permainan tradisional. Lingkungan yang sebenarnya tampak memprihatinkan itu terasa lebih hidup dengan keceriaan mereka. Celoteh lucu dan tawa riangpun menghiasi jalan setapak menuju rumah kontrakan seorang anak yang luar biasa.

Anak yang masih duduk di kelas dua Sekolah Dasar di daerah Madiun ini sedang tidak di rumah ketika petugas LMI mengunjungi rumah mungil berdinding anyaman bambu dan beratap asbes yang dikontrak orangtuanya. Ia sedang pergi ke desa tetangga karena menjalankan tugas dari ibundanya. Sambil menunggu di ruang tamu, sang ibu menceritakan riwayat buah hatinya. Ia terlahir sebagai salah satu dari lima bersaudara. Sejak lahir ia telah menderita kanker leher, yang semakin hari semakin menggerogotinya. Orangtuanya merasa tak berdaya karena ayahnya hanya seorang tukang pijat yang penghasilannya tidak menentu. Ayahnya sudah cukup kesulitan untuk mencukupi kebutuhan kelima anaknya. Sebagai tukang pijat urat yang menunggu rizki lewat orang-orang yang membutuhkan jasanya, tentu tidak ringan membiayai sekolah ketiga putra, mencukupi gizi seorang balita dan seorang bayi. Ditambah lagi harus membayar uang sewa rumah yang terdiri dari ruang tamu, dapur, dan satu kamar tidur yang mereka tempati bersama.

Untuk menjemput rizki sang ayah harus berjalan kaki ke rumah orang yang memerlukan bantuannya karena beliau tidak memiliki kendaraan. Di rumah hanya ada tiga buah sepeda kecil yang selalu digunakan ketiga anaknya untuk sekolah. Bahkan, salah satu sepeda kecil itu digunakan salah seorang putranya yang kini duduk di bangku kelas lima SD untuk mengangkut kotak balok berisi makanan kecil yang dijual di lokasi sebuah perguruan tinggi. Jika beruntung, ia bisa mendapatkan untung sampai lima belas ribu rupiah perhari. Pekerjaan ini ditekuninya sejak kecil di luar waktu sekolah. Jika besar nanti, ia bercita-cita ingin menjadi koki dan bekerja di sebuah restaurant.

Setelah beberapa saat, akhirnya anak yang ditunggu datang. Ia memasuki ruang tamu kecil yang hanya berisi sebuah dipan dan sebuah balai bambu. Anak ini terlihat polos. Tampak sebuah benjolan yang membengkak dan merata dari salah satu pipi sampai ke lehernya. Lidahnya juga membengkak sehingga memenuhi seluruh rongga mulut anak malang ini. Ia nyaris tak sanggup bicara, hanya sedikit terbata menjawab pertanyaan dari petugas LMI. “Mau jadi polisi..”, jawabnya singkat sambil berusaha menggerak-gerakkan lidahnya yang mungkin sudah kelu karena terus tertekuk ke atas sebab rongga mulutnya telah sesak akibat pembengkakan lidah. “Nilai mate-matika sembilan, bahasa Indonesia sembilan, bahasa Inggris delapan, PPKn seratus..”, lanjutnya dengan semangat. Ia menyatakan suka sekolah, tapi wajahnya murung ketika ditanya tentang jumlah temannya. Seperti kakaknya yang bertekad kuat untuk menjadi koki, iapun sungguh-sungguh akan mengejar cita-citanya sebagai polisi.

Sambil menunjukkan hasil rontgen lidah, ibunya menceritakan tentang kesulitan yang dialami keluarga sederhana ini. Beliau menuturkan tentang buah hatinya yang menderita kanker leher, bahwa kanker itu telah dioperasi. Tapi entah kenapa sekarang lidah si anak sering membengkak sampai menutupi seluruh mulutnya ditambah pipi serta leher yang juga membengkak. Untuk kontrol ke dokter selalu membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga pernah mereka pulang kembali tanpa hasil karena tidak punya uang. Kabar ini akhirnya sampai ke kantor LMI. Alhamdulillah masih ada dana untuk digunakan sebagai biaya kontrol si anak. Wajah sang ibu sedikit cerah begitu menerimanya. Akan tetapi, masalah mereka belum selesai. Dokter menegaskan bahwa operasi harus segera dilakukan.



“Saya belum siap..,” tutur sang ibu dengan suara yang sangat pelan. Beliau pasti membutuhkan biaya yang besar. Beliau menambahkan, “Operasi yang dulu saja habis tiga puluh juta…” Pandangannya menerawang mengingat masa di mana buah hatinya dioperasi untuk pertama kali. Matanya kemudian menatap si buah hati dengan iba. Pasti beliau tak kuasa menyaksikan putranya menderita terlalu lama, tapi juga tak bisa berbuat apa-apa. Ada rasa bersalah dalam sorot mata itu. Entah siapa yang akan tergerak hatinya untuk membantu meringankan krsulitan keluarga ini… adakah yang masih peduli..? Suasana sunyi kembali menyeruak. Hanya desiran air dari sungai di dekat rumah yang sesekali memecah kesunyian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar